Postingan

Kisah Letnan H.P. De Bruyn yang tewas di Seunagan (Aceh Barat) tahun 1902

Gambar
kenangan para serdadu Belanda yang tewas tahun 1902 salah satunya Letnan H.P. De Bruijn. Source: https://tengkuputeh.com Seorang letnan yang masih muda remaja dan lajang serta pemberani De Bruijn, saat itu akan menikah di pendopo (dulu), tetapi ia memilih untuk “di-Peucut-kan” daripada menjadi “pengantin”. Bagi Belanda, ia dianggap gagah berani. De Bruyn adalah perwira dengan pangkat letnan satu dari pihak Belanda yang bertugas di Seunangan (Aceh Barat), ia mendapat perintah langsung dari Van Heutsz (Gubernur Belanda di Aceh ketika itu) sendiri. Van Heutsz juga akan mengawinkan De Bruyn dengan seorang gadis anak seorang perwira menengah, perkawinan tersebut akan berlangsung ditempat kediaman Van Heutsz yaitu pendopo gubernur sekarang. Naas bagi De Bruyn karena dia dan sebahagian besar anak buahnya berhasil disapu bersih oleh para pejuang Aceh dari Seunagan dengan suatu “klewangaanval”   yang terkenal itu. De Bruijn menderita terlalu banyak bacokan sehingga ia tak mungkin diraw

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS

Sabtu, 22 Maret 1873. Jauh ditengah-tengah laut yang berpantai ke Bandar Aceh Darussalam, bagaikan ditepi langit, nampaklah oleh penduduk empat kapal api, yang mengambil haluan tepat menuju tanjung tanah Aceh yang disebelah Utara. Bagaikan tabuhan terkejut, lalu terbang berkeliling bercerai-berai meninggalkan sarangnya karena diganggu, penduduk kota berhamburan keluar rumah, lalu lari berduyun-duyun ke tepi laut. Dari beberapa mulut keluarlah teriakan, “Habib datang! Tentara Turki menyertai kita!” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS

Aceh, akhir abad XIX Siapa pun itu berhak menyendiri, tanpa ingin dirisaukan oleh ini dan itu. Seperti siapapun itu berhak untuk takut. Aku sedang tak ingin ditemui siapapun, aku kalah, aku takut menghadapi hari kemarin, sebab masa lampauku bukanlah sebuah panorama damai yang terbentang di belakangku, negeri ini bisa kutempuh bila ku ingin, yang menunjukkan kepadaku, berangsur-angsur, bukit dan lembah-lembahnya yang rahasia. Sewaktu aku bergerak ke depan, masa lampau itu pun runtuh. Sebagian besar reruntuhannya, masih dapat terlihat, tak punya warna, mencong bentuknya, dan beku. Maknanya terlepas dariku. “Dik, bisakah kita bertemu?”  Berkali-kali surat berdatangan dari Tengku Tiro. Ia ingin bertemu, dan tidak suka bertemu dengannya. Aku tidak sreg bertemu dia, karena sebagai seorang fuqaha  dia senang berceramah, dalam pertemuan sebelumnya ia memprotes kegemaranku menghisap tembakau. Aku bukan orang yang memilih hidup suci seperti dia, jalan hidup yang ia pilih begitu keras. Aku t

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS

Pesisir Barat Aceh, circa akhir abad XIX Dusun Jeuram yang terletak dipinggir sungai Krueng Seunagan, di daerah Meulaboh telah sunyi keadaannya. Matahari telah tenggelam di lautan Hindia yang lebar itu, cahaya yang silau, menyilaukan mata berpendar di muka air biru yang maha luas itu. Aku sedang menatap kosong aliran sungai ketika tiba-tiba orang dibelakang menegur riang. “ Ambo  melihat tuan sedang bersedih, apakah gerangan?” Aku melihat kebelakang. Anak muda itu begitu percaya diri, kurang ajar. “Darimana kau menilai?” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS

Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tenaga untuk mengangkat tangan pun tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama aku pingsan,” pikirnya sambil mengerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum sadar bahwa sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya. Bunyi meriam masih bertaut dari kejauhan, entah dari Peunayong atau istana. Perang masih berlanjut, tapi pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu, Benteng Lhambhuek telah jatuh, oleh pengkhianatan Ali Bahanan, atau siapapun itu. Hanya dalam setengah hari, seluruh harapan yang pernah ia miliki lebur. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS

Penolakan Turki menimbulkan pilu dalam hati rakyat Aceh. Turki dipandang sebagai jago negeri-negeri Islam. Mereka menolak membantu, mereka mungkin mau, tapi tak mampu. Belanda melalui siaran propaganda mengambarkan Turki seperti ayan jantan dengan memakai terbus, berlumur darah dan lari dengan bendera bulan sabit dengan bintang di tengah-tengah pada kakinya. Ini adalah penghinaan. Tapi apa sebab Allah membiarkan kerajaaan Islam terus menerus diperlemah oleh bangsa kulit putih? Apakah itu takdir Allah atau cobaan bagi umat Islam. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS

ni adalah suatu masa di mana Aceh memiliki penduduk yang kebanyakan namun dikelola oleh mereka yang memiliki pengetahuan yang baik, pemerintahan berdasarkan klaim sejarah yang benar dan bukan propaganda belaka. Saat-saat itu sudah tidak ada lagi sekarang. Untuk mengenang sekaligus bernostagia baiknya kita menyimak cerita ini. Menjelang akhir abad ke-19, Aceh merupakan pengecualian dari semua daerah yang pernah diperangi oleh Belanda di Nusantara. Aceh bisa bertahan cukup makmur tanpa Belanda turun tangan. Aceh memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional dan pada tahun 1873 paling tidak terdapat seorang pemimpin dengan kecerdasan pengetahuan dunia yang unggul, yaitu Perdana Menteri Habib Abdurrahman Zahir. Cerita selengkapnya